Beranda | Artikel
Antara Aqidah dan Perilaku Masyarakat
Kamis, 4 Mei 2017

Bismillah.

Sudah dimaklumi bersama, bahwa Islam terdiri dari aqidah dan syari’at. Aqidah berkaitan dengan perkara-perkara batin yang diyakini di dalam hati, sementara syari’at -dalam istilah yang biasa digunakan di masa kini- mencakup perkara-perkara lahiriah berupa ibadah dan muamalah.

Baiknya perilaku lahiriah sangat bergantung pada kualitas aqidah dan keyakinan yang tertanam di dalam hati. Hal ini terbukti dengan kemuliaan dan kejayaan yang diperoleh generasi terdepan umat ini -yaitu para sahabat- radhiyallahu’anhum. Mereka adalah orang-orang yang paling bersih hatinya, paling dalam ilmunya, dan paling sedikit membeban-bebani diri/takalluf.

Para sahabat mengalami perubahan yang sangat luar biasa dari latar belakang masyarakat jahiliyah yang kental dengan syirik dan pemujaan berhala menuju cahaya iman dan tauhid kepada ar-Rahman. Perubahan yang membawa dampak positif bagi segala sisi kehidupan mereka. Perubahan yang membersihkan tabiat dan pemikiran mereka dari segala bentuk kekafiran, syirik, dan penyimpangan pemahaman. Karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut generasi para sahabat sebagai generasi terbaik umat ini.

Tidak ada yang membenci para sahabat kecuali orang-orang zindiq dan munafik serta kaum kafir. Oleh sebab itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut tanda keimanan adalah mencintai kaum Anshar. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang kita mencela sahabat-sahabatnya, karena infak mereka yang hanya satu mud atau setengahnya tidak bisa kita tandingi dengan infak walaupun berupa emas sebesar gunung Uhud. Allah telah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Allah sediakan surga untuk mereka berkat kesucian hati dan perjuangan amal-amal mereka selama hidup di dunia yang sementara ini. Di dalam al-Qur’an Allah memuji kaum Muhajirin, Anshar, dan siapa saja yang mengikuti mereka dengan baik.

Tentu tidak mudah, merubah perilaku dan kebiasaan masyarakat yang sudah mendarah-daging dan diwariskan dari generasi ke generasi. Tidak seperti membalikkan telapak tangan. Banyak usaha yang harus dilakukan. Dan yang paling utama ialah memperbaiki cara pikir dan keyakinan. Hal itu tidak mungkin kecuali dengan penanaman aqidah yang benar dari al-Qur’an dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu pantaslah jika Imam Malik rahimahullah berkata -seolah ucapan ini tertuju kepada kita-, “Tidak akan memperbaiki keadaan generasi akhir umat ini kecuali dengan apa-apa yang telah memperbaiki keadaan generasi awalnya.”

Aqidah tauhid ini saja di awal kemunculannya di Mekah sudah dinilai sebagai sesuatu yang sangat aneh, nyleneh, mengherankan, asing, bahkan dianggap sebagai kegilaan. Ketika kaum musyrik saat itu diajak kepada kalimat laa ilaha illallah mereka menyombongkan diri seraya berkomentar, “Apakah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami hanya demi menuruti perkataan seorang penyair yang gila.” Maha suci Allah dari kotornya lisan-lisan mereka…

Akan tetapi fitrah manusia akan menuntut mereka untuk tunduk menerimanya. Demikianlah keadaan yang dialami oleh para sahabat -dengan taufik dari Allah kepada mereka- karena Allah mengetahui isi hati mereka. Allah pun memilih mereka untuk menjadi pendamping perjuangan nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah tidak salah pilih. Sebagaimana Allah paling tahu siapa yang lebih berhak menerima risalah ini, begitu pula Allah yang paling mengerti siapa saja orang-orang yang layak diangkat menjadi sahabat-sahabat rasul yang mulia itu…

Karena itu pula para sahabat terbedakan dengan kaum munafikin. Apabila kaum munafikin menyimpan kebencian di dalam hatinya kepada tauhid, maka hati para sahabat telah dijadikan oleh Allah cinta kepada iman dan Allah menghiasi iman itu sehingga tampak indah di dalam hati mereka, sehingga para sahabat pun membenci kekafiran, kefasikan, dan segala bentuk kemaksiatan. Karena itu pula keempat khalifah setelah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam digelari dengan para khalifah yang lurus… Bahkan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berwasiat agar kita berpegang teguh dengan sunnah beliau dan sunnahnya para khalifah yang lurus itu…

Begitulah sunnatullah, ketika perubahan yang besar ini dimulai dari perbaikan keyakinan dan penanaman aqidah yang lurus lahirlah sosok para pejuang Islam yang tak kenal menyerah dan pahlawan-pahlawan jihad yang mencintai kematian -di jalan Allah- sebagaimana orang kafir mencintai kehidupan di alam dunia yang fana ini. Mereka lah benteng terdepan dan pertahanan umat di garis depan. Mereka rela mengorbankan harta, tenaga, bahkan nyawanya demi tegaknya kalimat tauhid dan kemuliaan Islam. Seperti yang ditegaskan oleh Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu, “Kami adalah suatu kaum yang dimuliakan oleh Allah dengan Islam ini, kapan saja kami mencari kemuliaan dari selain Islam niscaya Allah akan menghinakan kami.”

Mereka yakin seyakin-yakinnya, bahwa segala bentuk kesulitan, luka, kepedihan, dan derita yang dialami para pejuang di jalan Allah dalam membela agama yang haq ini tidak akan disia-siakan oleh Allah sedikit pun. Mereka yakin dengan sepenuhnya bahwa dunia ini hanya sementara dan akhirat itulah yang kekal dan abadi. Mereka tidak ingin menukar kesenangan hakiki -di surga- dengan ceceran-ceceran dunia yang tidak lebih berharga daripada sehelai sayap seekor nyamuk!!

Tidakkah kita ingat ucapan Malik bin Dinar rahimahullah, “Telah pergi para pemuja dunia dari dunia ini dalam keadaan belum menikmati sesuatu yang paling nikmat di dalamnya.” Orang-orang bertanya kepadanya apakah itu yang paling nikmat di dunia. Beliau menjawab, “Yaitu mengenal Allah ‘azza wa jalla.” Ya, sungguh malang keadaan mereka yang menghabiskan umurnya di dunia dalam kekafiran dan tidak bertaubat darinya… Kita berlindung kepada Allah darinya..

Sesungguhnya memperbaiki aqidah manusia lebih sulit dan lebih berat daripada memperbaiki jalan yang rusak, motor yang rusak, atau rumah yang rusak. Karena aqidah itu bersemayam di dalam hati manusia. Hanya dengan bimbingan ilmu, hidayah, dan taufik dari Allah manusia bisa meluruskan aqidah dan keyakinannya. Aqidah adalah amalan hati, sementara ilmu menjadi landasan bagi segala bentuk ucapan dan amalan, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Bukhari rahimahullah.

Karena itu pula kita diajari oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta hidayah setiap hari minimal tujuh belas kali. Kita juga diajari untuk berdoa meminta ilmu yang bermanfaat setiap pagi setelah sholat subuh. Karena ilmu itu adalah gizi bagi hati. Sebagaimana air hujan menjadi sebab hidupnya tanah, demikian pula siraman ilmu dan nasihat menjadi sebab hidupnya hati. Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja -manusia terbaik dan paling bertakwa- berdoa kepada Allah agar diberikan keteguhan hati di atas agama Islam ini; maka bagaimanakah lagi kiranya yang harus dan wajib dilakukan oleh orang-orang seperti kita ini?

Aqidah di dalam agama ibarat sebuah pondasi bagi sebuah gedung. Apabila gedung itu rusak pondasinya hampir bisa dipastikan bahwa gedung itu tidak akan bisa bertahan lama. Apabila umat Islam ini satu sama lain digambarkan ibarat sebuah bangunan dimana bagian yang satu memperkuat bagian yang lain, bisa kita ambil kesimpulan bahwa lemahnya aqidah sebagian umat Islam juga akan memberikan dampak negatif bagi umat Islam yang lainnya. Lemahnya persatuan, kurangnya kekuatan, dan tercerai-berainya barisan. Maraknya kejahatan, larisnya maksiat, dan merajalelanya kezaliman merupakan buah dan akibat dari rusaknya aqidah dan keimanan. Karena itu setiap rasul selalu memberikan ‘terapi’ tauhid bagi problematika umatnya; sebab inilah kunci utama kebaikan manusia. Maukah kita memetik pelajaran dari perjuangan mereka?

— 


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/antara-aqidah-dan-perilaku-masyarakat/